Beranda | Artikel
Menyongsong Masa Kejayaan Islam dan Kaum Muslimin
Sabtu, 14 Juni 2025

Ilmu agama adalah kunci kebaikan dan fondasi amal ibadah

Sebagai seorang muslim, kita tentu meyakini bahwa Islam adalah agama yang telah sempurna. Allah berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan Aku telah rida Islam sebagai agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3)

Kemuliaan dan kebahagiaan ada bersama Islam. Allah berfirman,

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan siapa saja yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya, dan dia di akhirat akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)

Allah berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Siapa saja yang melakukan amal saleh dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan berikan balasan untuk mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Dari sini, kita memahami bahwa jalan menuju kejayaan adalah dengan iman dan amal saleh. Allah berfirman,

وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, serta saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3)

Termasuk bentuk keimanan dan amal saleh adalah dengan menimba ilmu agama; sebab ia menjadi kunci kebaikan dan fondasi amal ibadah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan dalam kitabnya, Miftah Daris Sa’adah, bahwa barangsiapa yang menimba ilmu agama dalam rangka menghidupkan ajaran-ajaran Islam, maka dia termasuk golongan shiddiqin dan derajatnya adalah setelah derajatnya para nabi.

Imam Ahmad rahimahullah menjelaskan bahwa umat manusia lebih membutuhkan ilmu daripada makanan dan minuman; karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu agama dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.

Allah berfirman,

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى

“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123)

Ayat ini -sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Abbas– menunjukkan bahwa untuk bisa selamat dari kesesatan di dunia dan kebinasaan di akhirat, maka seorang muslim harus membaca dan mempelajari kandungan Al-Qur’an serta mengamalkannya dalam kehidupan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

Kitab Al-Qur’an ini berisi petunjuk bagi manusia untuk keluar dari berlapis kegelapan menuju cahaya; dari gelapnya kufur menuju cahaya iman; dari gelapnya syirik menuju terangnya tauhid; dari gelapnya maksiat menuju cahaya ketaatan; dan dari gelapnya bid’ah menuju cahaya sunah.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya keberadaan agama dan dunia ini ada pada keberadaan dan terjaganya ilmu. Dengan lenyapnya ilmu, maka lenyap pula dunia dan agama. Maka tegaknya urusan agama dan dunia hanya terwujud dengan adanya ilmu.” Kemudian, beliau menukil ucapan Imam az-Zuhri, “Berpegang teguh dengan sunah (ajaran nabi) adalah jalan keselamatan, sementara ilmu ini diangkat secara cepat, maka tersebarnya ilmu merupakan sebab keteguhan urusan agama dan dunia, sedangkan hilangnya ilmu merupakan sebab lenyapnya itu semua.” (Lihat Al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 219)

Abdullah bin Amr radhiyallahu ’anhuma menuturkan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu ini secara tiba-tiba dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Sampai apabila Allah tidak meninggalkan seorang alim, maka orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673, ini lafal Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah jadikan dia fakih (paham) dalam hal agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037 dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu)

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa di dalam hadis ini terkandung keutamaan ilmu dan mendalami agama serta dorongan untuk mempelajarinya, sebabnya adalah karena ilmu menjadi pemandu menuju ketakwaan kepada Allah Ta’ala. (Lihat Syarh Sahih Muslim, 4: 362)

Hadis Mu’awiyah ini juga mengandung keutamaan yang besar bagi para ulama ahli agama dan keutamaan mempelajari ilmu agama di atas ilmu-ilmu yang lainnya. Demikian kandungan penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. (Lihat Fathul Bari, 1: 200)

Imam Bukhari rahimahullah memulai kitab Shahih-nya dengan Kitab Bad’il Wahyi [permulaan turunnya wahyu]. Kemudian setelah itu beliau ikuti dengan Kitab Al-Iman. Kemudian yang ketiga adalah Kitab Al-‘Ilmi. Hal ini dalam rangka mengingatkan, bahwasanya kewajiban yang paling pertama bagi setiap insan adalah beriman [baca: berakidah yang benar dan bertauhid]. Sementara sarana untuk menuju hal itu adalah ilmu. Kemudian, yang menjadi sumber (rujukan) iman dan ilmu adalah wahyu (yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah). (Lihat mukadimah tahqiq kitab ‘Aqidah Salaf wa Ash-habul Hadits, hal. 6)

Berpegang teguh dengan dalil Al-Kitab dan As-Sunnah merupakan salah satu kaidah dan prinsip penting dalam beragama. Hal ini telah diungkapkan pula oleh Imam Abu Bakr bin Abi Dawud rahimahullah (wafat 316 H) dalam Manzhumah Haa-iyah-nya, beliau berkata,

تمسّكْ بحبلِ اللهِ واتبعِ الهُدى … ولا تكُ بدعيًّا لعلّك تُفلحُ

“Berpegang-teguhlah dengan tali Allah dan ikutilah petunjuk. Dan janganlah kamu menjadi pelaku kebid’ahan, mudah-mudahan kamu beruntung.”

Yang dimaksud ‘tali Allah’ adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan kata lain, tali Allah adalah wahyu yang Allah turunkan kepada rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Syarh Manzhumah Haa-iyah, hal. 47; oleh Syekh Shalih Al-Fauzan)

Imam Bukhari rahimahullah (wafat 256 H) dalam kitab Shahih-nya membuat pembahasan khusus dengan judul ‘Kitab Al-I’tisham bil Kitab was Sunnah’; yaitu berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafizhahullah menjelaskan, bahwa yang dimaksud ‘berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah’ adalah mematuhi perintah dan larangan yang ada di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Memegang teguh Al-Kitab dan As-Sunnah merupakan bentuk pelaksanaan perintah Allah,

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ

“Dan berpegang-teguhlah kalian dengan tali Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 103)

Al-Kitab dan As-Sunnah disebut sebagai ‘tali’ karena ia menjadi sebab untuk sampai ke surga, sebab untuk meraih pahala, dan selamat dari azab. Sebagaimana halnya tali menjadi sebab (perantara) untuk tercapainya apa yang dimaksud. (Lihat Minhatul Malik, 13: 364)

Imam as-Suyuthi rahimahullah menyebutkan penafsiran dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengenai makna ‘tali Allah’ -sebagaimana diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir dan Ath-Thabarani- bahwa Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu menjelaskan, “Tali Allah maksudnya adalah Al-Qur’an.” (Lihat ad-Durr al-Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, 3: 709)

Allah berfirman,

طه مَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى

“Thaha. Tidaklah Kami turunkan kepadamu -wahai Muhammad- Al-Qur’an supaya kamu celaka.” (QS. Thaha: 1-2).

Sesungguhnya wahyu, Al-Qur’an dan seluruh ajaran syariat Islam ditetapkan oleh Allah Yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, dimana Allah jadikan hal itu sebagai jalan yang mengantarkan menuju kebahagiaan, keberuntungan, dan kejayaan. Allah menjadikan agama ini penuh dengan kemudahan. Allah pun menjadikan ajaran Islam ini sebagai pasokan gizi bagi hati dan ruh serta memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi tubuh manusia. Oleh sebab itu, fitrah yang lurus dan akal sehat akan menerimanya dengan penuh kelapangan dan ketundukan. Hal itu disebabkan ia memahami bahwasanya wahyu dan agama ini membawa kepada kebaikan dunia dan akhirat. (Lihat Tafsir As-Si’di, hal. 502)

Dari sinilah kita menyadari betapa besar nikmat yang Allah berikan kepada orang-orang yang beriman. Allah berfirman,

لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ

“Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah utus di tengah-tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri yang dia membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya dan menyucikan mereka, serta mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah dan sesungguhnya mereka sebelum itu benar-benar berada dalam kesesatan yang amat nyata.” (QS. Ali ‘Imran: 164)

Ayat tersebut menunjukkan bahwasanya nikmat diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebesar-besar nikmat bahkan pokok dari segala nikmat. Dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada umatnya lafal-lafal Al-Qur’an dan menjelaskan makna-maknanya. Beliau juga membersihkan mereka dari berbagai noda syirik, maksiat, perkara-perkara rendah serta semua sifat tercela. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendorong umatnya untuk memiliki akhlak yang mulia. Penyucian (tazkiyah) itu mengandung dua hal; pembersihan dari berbagai keburukan (tashfiyah) dan pengembangan diri dengan berbagai sifat yang terpuji dan mulia (tarbiyah). Selain itu, beliau juga mengajarkan kepada mereka Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadi sumber ilmu dalam hal pokok-pokok maupun cabang-cabang perkara agama. Dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah itulah, akan terwujud hidayah dan kebaikan bagi umat manusia. (Lihat Taisir Al-Lathif Al-Mannan, hal. 32-33; oleh Syekh As-Si’di rahimahullah)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa maksud dari ‘menyucikan mereka’ adalah dengan memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar sehingga dengan sebab itu menjadi bersih jiwa-jiwa mereka dan tersucikan dari kotoran dosa dan keburukan yang dahulu melekat pada diri mereka ketika masih musyrik dan hidup di masa jahiliyah. Di dalam ayat ini, Allah juga menjelaskan salah satu tugas rasul itu adalah membacakan kepada umatnya Al-Kitab dan Al-Hikmah; yang dimaksud ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2: 158)

Para ulama menjelaskan bahwa perkara yang ma’ruf mencakup segala bentuk ketaatan, dan ketaatan yang paling agung adalah beribadah kepada Allah semata, memurnikan ibadah untuk-Nya serta meninggalkan penghambaan kepada selain-Nya. Kemudian setelah itu segala amal yang wajib dan mustahab. Adapun perkara mungkar meliputi segala sesuatu yang dilarang Allah dan rasul-Nya seperti maksiat, bid’ah, dan sebagainya. Kemungkaran yang paling besar ialah syirik kepada Allah ‘azza wa jalla. (Lihat penjelasan Syekh Abdussalam As-Suhaimi hafizhahullah dalam Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 62)

Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu mengatakan,

إِنَّا كُنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ، فَأَعَزَّنَا اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ، فَمَهْمَا نَطْلُبِ الْعِزَّةَ بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللَّهُ بِهِ، أَذَلَّنَا اللَّهُ

“Kami adalah sebuah kaum yang telah dimuliakan oleh Allah dengan agama Islam ini. Maka kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selainnya, pasti Allah akan menghinakan kami.” (HR. Hakim dalam Al-Mustadrak)

Dengan mengikuti Islam dan mengamalkan Al-Qur’an, umat akan meraih kejayaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الكِتَابِ أقْوَاماً وَيَضَعُ بِهِ آخرِينَ

“Sesungguhnya Allah akan mengangkat dengan sebab Kitab ini beberapa kaum dan akan merendahkan kaum-kaum yang lain dengan sebab Kitab ini pula.” (HR. Muslim)

Karena Allah meridai Islam sebagai agama, maka seorang muslim pun rida Islam sebagai agamanya, dia tidak mau mencari selain Islam sebagai jalan hidupnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا

“Pasti merasakan lezatnya iman; orang yang rida Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)

Baca juga: Tauhid, Kunci Kejayaan Umat Islam

Keutamaan tauhid

Islam tegak di atas tauhid; yaitu pemurnian ibadah kepada Allah. Oleh sebab itu, setiap rasul menyerukan kepada umatnya untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi sesembahan selain-Nya. Allah berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ

“Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl: 36)

Semua rasul mengajak kepada kalimat tauhid. Allah berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah (sesembahan) -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25)

Tauhid inilah pondasi agama dan poros ketakwaan. Oleh sebab itu, kalimat tauhid juga disebut sebagai kalimat takwa. Sebab di dalam kalimat tauhid ini tersimpan perintah yang paling agung -yaitu beribadah kepada Allah semata- dan larangan yang terbesar -yaitu larangan dari berbuat syirik kepada-Nya-. Apabila para penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, niscaya Allah akan bukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi.

Inilah keutamaan tauhid bagi para penganutnya. Tauhid adalah sebab utama kebahagiaan dan sumber keamanan. Sebagaimana firman Allah,

الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang akan diberikan petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82)

Imam Bukhari rahimahullah menuturkan, Qutaibah bin Sa’id menuturkan kepada kami. Dia berkata, Jarir menuturkan hadis kepada kami dari Al-A’masy, dari Ibrahim, dari ‘Alqamah, dari Abdullah -yaitu Ibnu Mas’ud- bahwa beliau berkata, “Ketika turun ayat ini (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman…” (QS. Al-An’am: 82); maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan, “Siapakah di antara kita ini yang tidak mencampuri imannya dengan kezaliman?!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menanggapi,

لَيْسَ ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ الشِّرْكُ أَلَمْ تَسْمَعُوا مَا قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya bukan itu yang dimaksudkan. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Luqman (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (HR. Bukhari; lihat Minhatul Malik al-Jalil, 12: 389)

Menjemput hidayah

Hidayah bisa dibagi menjadi hidayah ‘menuju jalan’ dan hidayah ‘di atas jalan’. Hidayah ‘menuju jalan’ adalah hidayah untuk memeluk agama Islam dan meninggalkan agama-agama yang lain. Adapun hidayah ‘di atas jalan’ adalah hidayah untuk bisa melaksanakan rincian-rincian ajaran di dalam agama Islam. (Lihat Al-Majmu’ah Al-Kamilah, 1: 36)

Dari sisi lain, hidayah juga bisa dibagi menjadi dua macam: Pertama; hidayah berupa penunjukan, arahan, dan keterangan. Lawan dari hidayah ini adalah kesesatan (dholal). Kedua; hidayah berupa taufik, ilham, dan keistikamahan. Lawan dari hidayah ini adalah penyimpangan (ghoyyu). (Lihat Tafsir Surah Al-Fatihah, hal. 20).

Hidayah taufik adalah seperti yang dimaksud dalam ayat,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ

“Sesungguhnya kamu tidak bisa memberikan hidayah kepada orang yang kamu cintai.” (QS. Al-Qoshosh: 56)

Adapun hidayah penunjukan adalah seperti yang dimaksud dalam ayat,

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

“Sesungguhnya kamu benar-benar memberikan hidayah menuju jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura: 52) (Lihat At-Tas-hil li Ta’wil At-Tanzil, 1: 109)

Dengan kata lain, hidayah bisa dibagi menjadi hidayah ilmu dan hidayah amal. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Dengan ucapan anda ‘Ihdinash shirathal mustaqim’ itu artinya anda telah meminta kepada Allah Ta’ala ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.” (Lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 12)

Asas segala kebaikan adalah pengetahuanmu bahwasanya apa pun yang Allah kehendaki, pasti terjadi; dan apa saja yang tidak Allah kehendaki, tidak akan bisa terjadi. Pada saat itulah akan tampak jelas bahwa segala kebaikan bersumber dari nikmat-Nya sehingga kamu harus bersyukur atasnya. Kamu harus merendahkan diri dan memohon kepada-Nya jangan sampai Dia memutus nikmat itu darimu. Begitu pula, akan tampak jelas bahwa segala keburukan karena Allah tidak memperdulikan dan sebagai hukuman dari-Nya. Oleh sebab itu, seharusnya kamu berdoa dan berlindung kepada-Nya agar Dia menjagamu dari terjerumus ke dalamnya dan supaya Allah tidak membiarkan kamu tanpa bantuan dalam melakukan kebaikan maupun meninggalkan keburukan.

Semua orang yang arif sepakat bahwasanya segala kebaikan bersumber dari taufik Allah kepada hamba. Dan segala keburukan sumbernya adalah ketika Allah tidak memperhatikan keadaan hamba-Nya. Mereka pun sepakat bahwa hakikat taufik itu adalah Allah tidak menyandarkan urusanmu kepada dirimu sendiri. Adapun khudzlan (diabaikan) itu adalah tatkala Allah membiarkan kamu mengurus dirimu sendiri tanpa bantuan-Nya. Apabila semua kebaikan bersumber dari taufik, sementara ia ada di tangan Allah bukan di tangan hamba. Maka kunci untuk membukanya adalah dengan berdoa, merasa butuh di hadapan-Nya, memulangkan segala permasalahan kepada-Nya, dan senantiasa menyimpan harap dan takut kepada-Nya. Demikian keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah. (Lihat Al-Fawa’id, hal. 94; cet. Dar Al-‘Aqidah)

Syekh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “Kebutuhan seorang muslim terhadap hidayah menuju jalan yang lurus lebih besar daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Sebab makanan dan minuman adalah bekal untuknya dalam kehidupan dunia, sedangkan hidayah jalan yang lurus adalah bekalnya untuk negeri akherat. Oleh sebab itulah, terdapat doa untuk memohon hidayah menuju jalan yang lurus ini di dalam surah al-Fatihah yang ia wajib untuk dibaca dalam setiap rakaat salat; baik salat wajib maupun salat sunah.” (Lihat Qathfu Al-Jana Ad-Dani, hal. 114)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hidayah adalah pengetahuan tentang kebenaran yang disertai keinginan untuk mengikutinya dan lebih mengutamakan kebenaran itu daripada selainnya. Orang yang mendapat hidayah adalah orang yang melaksanakan kebenaran dan benar-benar menginginkannya. Itulah nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada seorang hamba. Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk meminta kepada-Nya hidayah menuju jalan yang lurus setiap sehari semalam dalam salat lima waktu yang kita lakukan. Karena sesungguhnya, setiap hamba membutuhkan ilmu untuk bisa mengenal kebenaran yang diridai Allah dalam setiap gerakan lahir maupun batin. Apabila dia telah mengetahuinya, dia masih membutuhkan Dzat yang memberikan ilham kepadanya untuk mengikuti kebenaran itu, sehingga kemauan itu tertancap kuat di dalam hatinya. Setelah itu, dia juga masih membutuhkan Dzat yang membuatnya mampu melakukan hal itu. Padahal, sesuatu yang telah dimaklumi bahwasanya apa yang tidak diketahui oleh seorang hamba itu berlipat ganda jauh lebih banyak daripada apa yang sudah diketahuinya. Di samping itu, tidak semua kebenaran yang diketahuinya dikehendaki oleh jiwanya. Seandainya menghendakinya, tetap saja dia tidak mampu untuk mewujudkan banyak hal di dalamnya.” (Lihat Adh-Dhau’ Al-Munir ‘ala At-Tafsir, 1: 25-26)

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan [menuju keridaan] Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. Al-‘Ankabut: 69)

Ibnul Qayyim rahimahullah menafsirkan, “Allah mengaitkan antara hidayah dengan jihad (kesungguhan). Ini artinya, orang yang paling besar hidayahnya adalah yang paling besar jihadnya. Sedangkan jihad yang paling wajib adalah jihad menundukkan jiwa dan berjuang mengendalikan hawa nafsu, berjihad melawan setan, dan berjihad melawan [ambisi] dunia. Barangsiapa yang berjihad melawan keempat hal ini, maka Allah tunjukkan kepadanya jalan-jalan keridaan-Nya yang mengantarkan ke surga-Nya. Barangsiapa yang meninggalkan jihad itu, maka dia akan kehilangan hidayah sekadar dengan jihad yang ditelantarkannya.” (Lihat Adh-Dhau’ Al-Munir, 4: 518)

Semoga bermanfaat bagi kami dan pembaca.

Baca juga: Mungkinkah Umat Islam Bersatu di atas Akidah yang Berbeda?

***

Selesai disusun di Markas YPIA; Jumat, 25 Zulkaidah 1445

Penulis: Ari Wahyudi

Artikel Muslim.or.id


Artikel asli: https://muslim.or.id/105942-menyongsong-masa-kejayaan-islam-dan-kaum-muslimin.html